Rabu, 05 Maret 2008

 

Kisah Siti Hajar Ibunda Nabi Ismail

Belajar dari Kisah Hajar Ummu Isma’il (Bag. 1)

Februari 12, 2007 AlMaidani

MediaMuslim.Info - Diriwayatkan bahwa Sarah bersumpah akan memotong tubuh Hajar menjadi tiga bagian (dalam penafsiran lain akan memotong bagian tubuh Hajar menjadi tiga bagian) bila Nabi Ibrahim tidak menjauhkan Hajar beserta anaknya–Isma’il—darinya. Dengan berat hati sang Khalilullah Ibrahim ‘alahi sallam mengabulkan permintaan dari isteri pertamanya itu. Nabi Ibrahim membawa istrinya Hajar dan anak semata wayangnya Isma’il menuju suatu lembah yang tidak ada rumput yang tumbuh sekalipun dan hanya meninggalkan air (dalam riwayat airnya pun tinggal sedikit lagi). Setelah Nabi Ibrahim menempatkan anak dan istrinya itu kemudian beliau berbalik badan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Nabi Ibrahim bergegas pulang dengan menitikan air mata namun beliau tidak menoleh ke belakang walaupun istrinya Hajar berkali-kali memanggil beliau. Nabi Ibrahim tidak memperdulikan panggilan dari isterinya dan tetap melanjutkan langkahnya yang berat. Hajar mengejar suaminya dan berkata, ”Apakah Allah yang memerintahkan kepadamu untuk melakukan ini?”. Ibrahim menjawab pendek, ”Benar”. Maka keluarlah suatu pernyataan dari Hajar yang melukiskan ketegaran dan ketawakalan jiwa beliau, ”Kalau Allah yang memerintakan demikian ini, niscaya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami”. Itulah suatu pernyataan yang keluar dari seorang hamba yang menunjukkan kekuatan iman dan ketinggian sikap tawakalnya yang mendapat tarbiyah dari seorang hamba yang pilihan juga, Ibrahim sang Kekasih Allah.

Setelah Ibrahim suaminya tercinta berlalu dari pandangannya, Hajar meletakan buah hatinya Isma’il pada tanah pasir, kemudian beliau melihat ke sekelilingnya berharap bertemu dengan suatu kafilah yang lewat yang hendak diminta pertolongannya. Hajar lalu pergi ke suatu bukit—yakni bukit Shafa–, setelah sampai beliau melihat ke sekelilingnya dengan harapan ada orang atau kafilah yang lewat yang ia bisa mintakan pertolongannya. Beliau merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat, kemudian beliau turun menuju bukit yang satunya, ketika lewat di depan anaknya Isma’il beliau berjalan agak cepat dan meneruskan jalannya menuju bukit satunya lagi yakni bukit Marwah. Lagi-lagi beliau melihat ke sekelilingnya di atas bukit Marwah itu. Hajar merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat begitu pula dengan tanda-tanda kehidupan. Perbekalan yang cuma air itu pun sudah hampir habis, demikian pula air susunya pun tidak keluar, beliau sangat panik dan khawatir. Hajar kemudian turun dari bukit Marwah kembali lagi menuju bukit Shafa dengan maksud yang sama. Bingung, gelisah jiwa Hajar saat itu, tidak ada orang yang bisa ia minta bantuannya, ditambah lagi sang buah hatinya Isma’il kelihatan sangat kehausan begitu pula dengan dirinya, beliau bertambah panik dan khawatir.

Beliau berlari lagi menuju bukit Shafa berharap semoga bertemu dengan seseorang atau suatu kafilah, merasa tidak menemukan apa-apa kemudian beliau lari lagi menuju bukit Marwah dan seterusnya begitu sebanyak tujuh kali (perbuatan Hajar ini diabadikan oleh Allah subhanahu wa ta’alla sebagai salah satu syi’ar haji yang disebut dengan Sa’i).

Maha Suci Allah, yang tidak pernah menyelisihi janji-Nya, sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat. Allah ‘azza wa jalla akan memberikan jalan keluar atau solusi, memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi hambanya yang bertaqwa dan bertawakal kepada-Nya. Demikian pula dengan Hajar, istri dari sang kekasih Allah, keduanya adalah hamba Allah yang sangat dekat kepada-Nya, di tengah-tengah kekalutan dan kebingungannya—dalam suatu riwayat—muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Isma’il. Melihat hal itu Hajar segera bergegas menuju mata air tersebut dan berkata. ”Zum, zum!” yang artinya ‘berkumpullah’. Hajar kemudian minum dari mata air yang diberkahi—hingga sekarang—itu dan memberikan pula anaknya Isma’il minum dari air tersebut, Hajar sangat bersyukur sekali atas karunia dari Allah subhanahu wa ta’alla tersebut.

Pertolongan Allah ‘azza wa jalla tidak berhenti sampai di situ saja, selang tidak seberapa lama munculah suatu kafilah yang berjalan menuju tempat Hajar beserta anaknya. Kafilah itu meminta izin kepada Hajar untuk mengambil air Zam-zam itu dan mereka pun bermaksud untuk tinggal bersama dengan Hajar. Hajar tentu saja sangat senang dan menyambut gembira tawaran baik tersebut, beliau akhirnya tidak sendirian lagi. Alhamdulillahilladzii bini’matihii tatimmush shaalihaat.

BEBERAPA MAKLUMAT PENTING

  • Pada sebagian daerah (semisal Jawa Barat) nama seorang perempuan biasa diembel-embeli dengan kata ‘Siti’ di depannya, dan saya mendengar salah seorang dari mereka mengartikan ‘Siti’ itu dengan ‘Nyai’, ini tentunya suatu kekeliruan yang tidak perlu. Cukuplah apa yang tertera pada nash atau sumber terpercaya lainnya, tidak perlu kita menambah-nambahi.

  • Di kalangan mayoritas ahli tarikh mereka menyatakan bahwasanya ayahanda dari Nabi Ibrahim adalah Tarih (versinya ahli kitab adalah Tarikh), demikian pula dengan pendapat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumaa. Di dalam Al-Qur’an dengan ‘sharih’ jelas bahwa dikatakan ayahnya Nabi Ibrahim adalah ‘Azar (dalam hal ini kita tidak gegabah untuk merajihkan ‘menguatkan’ salah satunya apakah menuruti mayoritas ahli tarikh, ataukah versinya Al-Qur’an yang di dalamnya tidak ada kebatilan dari sisi manapun?). Mari kita simak penjelasan dari seorang ahlinya, seorang yang ‘alim ‘sangat mumpuni’ dalam hadits, tafsir, tarikh dan siyar beliau adalah Al-Haafizh Abul Fidaa’ Ibnu Katsir rahimahullahu ta’alla murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, penyusun kitab tafsir ‘Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim’. Beliau—Ibnu Katsir rahimahullahu ta’alla—mengatakan bahwasanya ada dua kemungkinan untuk ini. Pertama ayahnya Nabi Ibrahim mempunyai dua nama—yakni Tarih atau ‘Azar—kemungkinan kedua Tarih adalah nama suatu julukan dari ‘Azar—yang merupakan nama aslinya. Wallahu A’lamu bish shawaab.

  • Sangat masyhur di kalangan ahli tarikh bahwasanya Hajar itu adalah seorang budak yang diberikan oleh Fir’aun kepada istrinya Nabi Ibrahim yang pertama Sarah. Ustadz kami—Ustadz Ridwan Hamidi Lc—menceritakan kepada kami bahwasanya ada seorang peneliti dari India—Al-Manshuri—melakukan penelaahan ulang dari banyak literatur dan mengambil natijah ‘berkesimpulan’ bahwasanya Hajar bukan seorang budak, bahkan dikatakan Hajar adalah salah seorang dari putri Fir’aun. Wallahu A’lam bish shawaab

  • Bahwasanya yang mendapat gelar Khalilullah bukan hanya Nabi Ibrahim ‘alahi assallam, namun junjungan kita juga Rasulullah ‘shalallahu ‘alahi wa sallam memiliki gelar tersebut, tambahan kedudukan Khalilullah lebih tinggi daripada kedudukan habibullah.

[BEBERAPA HIKMAH DAN PELAJARAN dari kisah ini dapat dibaca pada artikel Belajar dari Kisah Hajar Ummu Isma’il (Bag. 2)]

(Dikutip dari: Sirah Nabawiyyah ‘Rahiqul Makhtum’ tulisan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dan sumber-sumber lainnya)

Entry Filed under: Akhwat, Al Muslimah, Annisa, Emansipasi, Islam, Islamic, Muslim, Muslimah, Perempuan, Religion, Religius, Tentang Perempuan, Tentang Wanita, Ukthi, Wanita, Wanita Islam, Women


Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]