Rabu, 05 Maret 2008

 

Memori Sejarah Perempuan yang Terlupakan

Ibadah Qurban
Memori Sejarah Perempuan yang Terlupakan


Oleh Faqihuddin Abdul Kodir

Ketika memperingati Hari Raya Qurban pada setiap perayaan Idul Adha, memori kaum
muslimin biasanya lebih tercurahkan pada kebesaran Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Sedikit sekali dari mereka yang mengingat jasa dan kebesaran Hajar, ibunda Nabi Isma’il atau Sarah, ibunda Nabi Ishaq as.

Seperti yang terungkap dalam surat ash-Shaffat: 104-107, ibadah qurban berawal dari sebuah mimpi yang dialami Nabi Ibrahim as. Dalam mimpi itu, dia menyembelih putra tercintanya Isma’il as sebagai bentuk persembahan kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim as sangat cemas, tetapi sang putra justru antusias dan bersedia menjadi qurban yang disembelih ayahnya sendiri. Namun pada akhirnya, Allah Swt tidak merelakan pengorbanan manusia, dan sang putra diganti dengan seorang kambing yang dibawa langsung oleh malaikat Jibril as.

Penyembelihan hewan qurban sendiri, dalam Islam tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan mistis. Allah Swt tidak merasa perlu terhadap daging maupun darah kurban, seperti yang terungkap secara eksplisit dalam surat al-Hajj: 37. Tetapi Allah Swt merasa berkepentingan mendidik ketakwaan manusia melalui ketulusan ibadah kurban, dan menyebarkan nilai kemanusiaan melalui perintah pendistribusian daging kurban terhadap kerabat, tetangga, dan orang-orang miskin.

“Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (ridho) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu lah yang akan mencapainya” (QS, al-Hajj, 22: 37).

Syari’at Qurban
Mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa ibadah qurban (dengan penyembelihan hewan ternak tertentu) merupakan syari’at dalam Islam. Hal ini ditegaskan dalam beberapa teks hadis. Di antaranya, seperti diungkapkan Anas ra. bahwa Nabi Saw menyembelih hewan qurban dua kambing besar. (HR. Bukhari). Dalam teks hadis lain, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki kelebihan harta dan tidak mau berkurban, hendaknya tidak mendekati tempat ibadah kami”. (HR. Ibn Majah dan Ahmad).

Zaid bin Arqam ra berkata: suatu saat beberapa sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, untuk apa kita berkurban?”. “Untuk mengikuti sunnah Bapak kamu Ibrahim”, jawab Nabi Saw. “Mengapa kita harus mengikuti sunnah ini?”, tanya para sahabat. “Setiap helai rambut dari hewan qurban akan menjadi amal kebaikan”, kata Nabi Saw. (HR. Ibn Majah dan Ahmad).

Menurut ulama fiqh, ibadah dengan penyembelihan hewan qurban merupakan amalan yang paling utama pada Hari Raya Idul Adha. Amalan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Allah Swt atas segala karunia yang diberikan, menghapus segala dosa yang dilakukan, di samping untuk membuka kesempatan kepada sanak saudara dan para tetangga menikmati karunia yang ada. Bagi madzhab Hanafi, ibadah qurban ini wajib hukumnya bagi setiap orang yang memiliki kemampuan pada hari raya tersebut. Sementara menurut masyoritas ulama, ibadah qurban hanyalah sunnah muakkadah (kuat) belaka. (lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, III/595).

Sebaiknya, setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, dianjurkan melakukan ibadah qurban untuk masing-masing, sendiri-sendiri. Tetapi bisa juga dilakukan oleh seseorang untuk satu keluarga yang menjadi kewajiban nafakahnya. Jika ibadah qurban bukan merupakan kewajiban –karena nadzar misalnya- maka dagingnya boleh dimakan orang yang berqurban, lalu untuk keluarganya, dan untuk orang-orang miskin. Dalam madzhab Hanafi, sebaiknya daging-daging itu sepertiga untuk diri yang berqurban, sepertiga untuk kerabat dan teman-temannya dan sepertiga yang lain untuk orang-orang miskin. Dalam madzhab Syafi’i, ada pendapat yang sama dengan pendapat Hanafi, ada yang mengatakan separoh untuk dirinya dan keluargannya dan separoh untuk disedekahkan, dan pendapat satu lagi bahwa yang berkurban sebaiknya hanya memakan sedikit saja dari daging tersebut, lalu sisanya disedekahkan. (lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, III/596 dan 630-635).

Ketabahan dan Kemandirian
Seperti terungkap dalam teks hadis yang disampaikan Zaid bin Arqam ra di atas, ibadah qurban dalam Islam merupakan napak tilas dari sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim as dan sang anak Isma’il as. Semangat pengorbanan yang terjadi antara bapak dan anak ini tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan sang ibu, Siti Hajar. Sayang sekali, memori sejarah kita sedikit sekali mengapresiasi perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan sang ibu Siti Hajar.

Seperti yang dikisahkan dalam riwayat Imam Bukhari, dari Ibn Abbas ra kisah Nabi Saw mengenai Siti Hajar, bahwa ketika Isma’il masih dalam susuan sang ibu, dia dibawa Nabi Ibrahim as beserta sang ibu dari Palestina ke Mekkah yang saat itu sangat tandus dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mereka ditempatkan di suatu tempat, yang sekarang dekat dengan Ka’bah, yang saat itu tidak ada seorang manusia pun menetap di tempat itu. Siti Hajar dan Isma’il hanya berdua, dengan dibekali satu kantong berisi kurma dan satu kantong berisi air. Nabi Ibrahim as bergegas pulang ke Palestina meninggalkan mereka berdua. “Wahai Ibrahim, mengapa anda tinggalkan kami berdua di negeri yang tandus dan tidak ada teman seorangpun?”, tanya Siti Hajar. Nabi Ibrahim as tidak menoleh dan tidak menjawab. Siti Hajar membuntuti dan mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Dan Nabi Ibrahim as tetap tidak menoleh dan tidak menjawab.

“Apakah Allah menyuruhmu berbuat demikian?”, tanya Siti Hajar. “Ya”, jawab Nabi Ibrahim as singkat. “Kalau begitu, kami yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan kami berdua”, tegas Siti Hajar. Nabi Ibrahim pun bergegas meninggalkan mereka berdua, tanpa memberikan bekal yang lebih untuk hidup sehari atau dua hari saja. Siti Hajar kemudian dengan kekuatan, kemandirian dan ketabahan dirinya membesarkan dan mendidik sang putra Isma’il yang kelak menjadi orang yang baik, bijak dan sabar dan kemudian diangkat menjadi seorang Nabi. Setelah sang putra Isma’il beranjak dewasa, Nabi Ibrahim as pernah menjenguk sekali dua kali. (lihat: Jâmi’ al-Ushûl, XI/32-33).

Dialog tentang ketabahan pengorbanan sang putra Isam’il, yang direkam surat ash-Shaffat, tidak akan pernah terjadi jika tidak atas didikan sang ibu, karena Nabi Ibrahim as sama sekali tidak hidup bersama untuk memelihara dan mendidik sang putra.

“Maka tatkala sang putra itu berumur dewasa dan bisa berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami berseru dan memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah meyakini mimpi kamu itu. Sesungguhnya demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar merupakan ujian yang nyata. Dan Kami tebus putra itu dengan seekor (kambing) sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”. (QS. Ash-Shaffat, 37: 102-108).

Ketabahan yang ditunjukkan sang putra Isma’il tidak akan pernah muncul jika tanpa didikan ketabahan sang ibu, Siti Hajar. Dia yang pernah dengan tegas menyatakan ketika ditinggal pergi Ibrahim tanpa teman dan bekal cukup sekalipun: “Kami yakin, Allah tidak akan menelantarkan kami berdua”. Ketegasan dan kemandirian ini yang melahirkan pribadi-pribadi yang juga tegar dan tegas di kemudian hari.

Sama persis yang dilakukan Siti Khadijah ra, ketika melihat sang suami Rasulullah Saw masih galau dan ragu dengan wahyu yang diterimanya. “Wahai Khadijah, tidak ada sesuatu yang paling aku benci kecuali berhala dan para peramal itu, aku khawatir aku akan diangkat menjadi peramal”, keluh Rasul kepada Khadijah ra. “Tidak”, kata Khadijah. “Demi Allah, Allah tidak akan menghina kamu, karena kamu adalah orang yang baik terhadap keluarga, suka menjamu tamu, berani mengambil tanggung jawab besar, memberi orang yang kekurangan dan membantu orang-orang kesusahan. Kamu memiliki banyak sifat-sifat yang baik, yang dengan itu, kamu sama sekali tidak akan didatangi setan”, sambung Khadijah. (Amin Duwaidar, Shuwarun min Hayat ar-Rasul, hal. 123). (Teks hadis diriwayatkan Imam Bukhari, lihat pada Kitab Nikâh, bab Man Qâla Lâ Nikâha illâ bi-Waliyyin).

Pendidikan dan Penguatan
Ibadah qurban memberi pelajaran besar kepada kita terhadap pentingnya pengorbanan dalam mengarungi kehidupan. Pengorbanan, seperti yang ada dalam kisah-kisah di atas, meniscayakan adanya ketabahan, keteguhan, ketegaran, dan kesabaran. Dan semua itu tidak menjadi monopoli siapapun, laki-laki atau perempuan. Siapapun memiliki potensi yang sama untuk bisa tabah, teguh, tegar dan sabar dalam berkorban. Yang diperlukan dalam hal ini adalah pendidikan dan lingkungan yang mendukung. Seseorang tentu saja tidak mungkin bisa berkorban, tanpa penguatan diri terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya pendidikan yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, jika yang diharapkan adalah pribadi-pribadi yang tangguh dan sanggup berkorban.

Seperti yang terungkap dalam suatu teks hadis, “Mulailah dari diri sendiri dan sedekahkan sesuatu kepadanya, kemudian memulai memberikan sedekah kepada keluarga kamu”. (Riwayat Bukhari, lihat: Jâmi’ al-Ushul, IX/57, no. Hadis: 5924) Teks hadis mengisyaratkan betapa penguatan diri menjadi sangat penting bagi setiap orang yang ingin melakukan kerja-kerja pengorbanan untuk orang lain.

Jika kita menuntut seseorang untuk berkorban, terutama perempuan yang seringkali diminta demikian, maka konsekuensinya adalah kita harus mengagendakan pendidikan dan penguatan terhadap mereka. Karena pengorbanan tidak mungkin bisa dilakukan dengan sempurna tanpa penguatan terlebih dahulu. Seperti kata pepatah; “Seseorang tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya”. Jika penguatan tidak dilakukan, maka yang terjadi bukanlah pengorbanan, tetapi kehancuran dan kesia-siaan.

“Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran” (QS, al-Baqarah, 2: 195).

Dalam masyarakat kita, yang sering membebani perempuan untuk kerja-kerja reproduksi; seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak, juga kerja-kerja produksi; mencari nafkah dan bekerja ke luar negeri, pada konteks demikian agenda pendidikan dan penguatan perempuan menjadi sangat penting agar pribadi tegar dan mandiri seperti Siti Hajar nyata lahir dalam komunitas kita. ]


Komentar: Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]





<< Beranda

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Berlangganan Postingan [Atom]